CINTA SAPTA untuk “NDUT”
Angin berhembus damai
siang itu, menerobos jendela kamar kos Rizki Noviana Wijayanti atau yang
akrab disapa Ndut. Teman-teman memanggilnya demikian karena memang tubuhnya
yang big. Meski begitu, Rizki tetap
terlihat menarik apalagi di mata Sapta, lelaki yang sudah dua tahun menjalin
hubungan kasih dengannya. Ndut tercatat sebagai mahasiswi Universitas Negeri
Yogyakarta, sedangkan Sapta tercatat sebagai mahasiswa Universitas Brawijaya.
Selain jarak yang cukup jauh, kesibukan masing-masing membuat rindu yang
terpendam semakin menumpuk. Komunikasi hanya dilakukan lewat HP.
“Beb, jaga kesehatan
ya. Setidaknya untuk satu minggu ini. J.”
Satu minggu lagi
adalah hari spesial untuk Ndut, pasalnya Sapta yang sudah satu bulan tidak
mengunjunginya akan datang mengunjunginya di sebuah tempat makan langganan
mereka. Nah, agar Ndut terlihat
lebih menarik di mata Sapta, Ndut menyiapkan segala hal. Ia mulai dengan
perawatan wajahnya yang ditumbuhi jerawat. Dengan bangganya jerawat-jerawat
itu tumbuh di kulit wajah Ndut yang sudah berminyak dan kusam. Kondisi ini membuat
Ndut semakin tersiksa. Tentu saja Ndut tak mau Sapta melihatnya dalam kondisi
yang mengenaskan seperti itu. Apalagi setelah sebulan tak bertemu. Ndut tak
boleh pergi ke mana-mana. Kalau sering bepergian akan banyak debu dan asap
yang menempel di wajahnya dan tentu saja perawatan wajahnya pun akan sia-sia.
Alasan itulah menjadikan seorang Ndut yang sering bepergian mendadak berdiam
diri di kos, hanya berteman TV, laptop,
kasur dan bantal serta barang-barang lain di kamarnya.
Persiapan selanjutnya
menjelang hari spesial itu adalah perawatan badan. Yah, agar kulitnya terlihat lebih terang, Ndut melakukan lulur
setiap pagi dan sore. Sebenarnya hal utama yang ingin Ndut lakukan adalah
menurunkan berat badannya, tapi apa daya untuk menurunkan berat badannya tak
cukup dalam waktu satu minggu. Satu bulan pun ia pernah jalani namun hasilnya
meski empat kilo sudah berkurang tetap saja tubuhnya big. Harus dua puluh kilo untuk terlihat kurus. Jadi, waktu yang
tinggal satu minggu rasanya mustahil untuk dilakukan.
Esok adalah hari yang
ditunggu Ndut, malam terasa sangat lama dan panjang. Waktu berjalan sangat
lambat. Mata tak bisa terpejam padahal waktu sudah pukul satu malam. Ndut
masih saja mematutkan dirinya di depan cermin dan sesekali senyumnya terlihat
di cermin kamarnya yang masih terang oleh lampu neon putih lima belas watt. Berkali-kali
ia mematutkan diri di depan cermin. Hingga terdengar suara ayam jantan yang
mulai berkukuruyuk riang menandakan fajar tiba. Mendengar suara ayam jantan
itu, Ndut terbengong dan kemudian tersadar ternyata jam sudah menunjukkan
pukul setengah tiga dini hari. Langsung saja ia meletakkan sisir di meja
riasnya. Melepas baju spesialnya dan segera mematikan lampu, kemudian
meloncat ke tempat tidurnya yang tidak empuk itu. Ia berusaha memejamkan
matanya yang sulit terpejam, hingga akhirnya benar-benar terpejam.
Hari yang ditunggu
akhirnya tiba, karena semalaman Ndut tidur terlalu pagi, hari ini dia bangun
terlampau siang. Matanya membelalak begitu melihat sinar matahari yang
menembus celah-celah jendela kamarnya yang tertutup korden ungu. Ndut masih
terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang membelalak dan jantungnya yang
tiba-tiba berdegub kencang. Ia segera menguasai dirinya. Segera ia bangun dan
menyambar handuk yang ia letakkan di kursi kamarnya, kemudian lari
terbirit-birit menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi, segera ia kenakan
pakaian yang paling bagus yang ia miliki, lebih tepatnya pakaian baru yang ia
beli khusus menyambut Sapta. Atasan baju dengan sedikti renda di bagian
lehernya dipadu padankan dengan celana jeans pensil kesukaannya. Rambut
sebahu yang disisir rapi, tak lupa make up minimalis memoles wajahnya. Kali
ini, Ndut terlihat sangat percaya diri untuk menemui Sapta.
Sesampainya di tempat
makan yang terlihat unik karena bentuk bangunannya mirip rumah panggung. Ndut
melihat sekelilingnya. Tak ada Sapta? Batang hidungnya pun tak nampak. Ndut
berjalan menuju meja nomor 9 dan duduk di kursi yang selalu menjadi
kebanggaan mereka. Ndut berkali-kali melihat sekelilingnya dan berkali-kali
pula ia melihat jam tangan yang menempel di pergelangan tangannya. Baru 15
menit ia menunggu kedatangan Sapta. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB.
Sapta telah berjanji menemuinya pukul 08.00 WIB di tempat ini. Terselip
perasaan khawatir, sedih, dan kecewa di benaknya. Khawatir, karena siapa tahu
Sapta telah meninggalkan tempat ini sebelum ia datang. Yah, karena Ndut
datang terlampau siang. Sedih, karena apakah ini berarti Ndut gagal bertemu
Sapta. Dan kecewa, mengapa Sapta tak menunggunya hingga ia datang. Ataukah
Sapta gagal mengunjunginya? hand phone
yang biasa menjadi andalan pun tidak aktif.
Seorang pelayan
perempuan berjalan mendekati Ndut, “Permisi, apa mbak yang bernama Rizki
Noviana Wijayanti?” tanyanya dengan sopan. Ndut sontak kaget melihat pelayan
yang mengetahui namanya “Ya benar mbak, ada apa mbak?”. Lalu pelayan itu
memberikan sepucuk surat dan setangkai bunga mawar merah pada Ndut, “Tadi ada
pria menitipkan ini pada saya dan untuk diserahkan pada mbak”. Ndut terlihat
bingung dan dugaannya benar. Surat dan bunga itu dari Sapta. Pelayan itu
pergi meninggalkan Ndut dalam kebingungan.
Maaf,
aku sudah menunggumu hampir tiga jam.
Aku tak bisa menunggumu lebih lama lagi. Aku akan kembali ke Malang siang ini
juga karena masih banyak yang harus aku selesaikan di sana. Ternyata
kebiasaanmu belum berubah. Selalu tidak bisa tepat waktu. Mungkin bulan depan
kita bisa bertemu. Ku titipkan bunga mawar merah untukmu.
With
Love,
Sapta
Dengan perasaan
sedih, Ndut melipat kembali surat itu. Memesan rica-rica bebek kesukaan
mereka dan menikmatinya tanpa Sapta. Kali ini Ndut berpikir, semuanya tidak
lebih penting daripada waktu yang sangat berharga. Dan bulan depan adalah
kesempatan yang diberikan Sapta padanya agar ia bisa tepat waktu ketika ada
janji.
|
Orientation
Event
Event
Event
Event
Complication
Complication
Resolution
|
Minggu, 22 September 2013
Belajar Menulis Cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar