BUAH
BIBIR
Siang begitu terik. Bau gabah yang baru
saja dipanen tercium hingga ke dalam rumah Marni. Segera ia keluar dari
rumahnya melihat hamparan luas sawah kering di seberang jalan. Ibu-ibu di kampung
hampir semuanya berkumpul di sana untuk memanen. Baginya yang tidak mempunyai
sawah hanya menjadi buruh saja. Tak lama, Marni sudah membaur dengan ibu-ibu di
sawah.
“Hai
Marni, jadi kau tidak peduli apa yang dilakukan Karman padamu?” pertanyaan yang
tiba-tiba saja dilontarkan seorang ibu setengah baya dengan caping yang sedikit
menutupi wajahnya.
“Tidak,
Sit. Dia sangat menyayangiku jadi hal seperti itu tidak mungkin ia lakukan” jawab
Marni dengan tenang.
“Tapi,
katanya ada orang yang lihat suamimu itu dengan Jum, janda Dirjo, itu di
rumahnya” timpal yang lain.
“Itu
kan katanya, barangkali orang yang mengira waktu itu salah lihat” jawab Marni.
“Kau
terlalu polos Marni. Semoga saja dugaanmu itu benar, dan kami yang salah.” Kali
ini Marni terdiam dan hanya menjawab dengan senyuman. Seperti itulah caranya
untuk menghentikan omongan ibu-ibu yang suka menggosip.
***
Terdengar pintu rumah diketuk, sore itu.
Ia beranjak dari sandaran duduknya. Dilihatnya lelaki bertubuh kurus dan
berkulit hitam di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar.
“Kang
Dirjo?!” lihatnya dengan terkejut.
“Sedang
apa kamu Mar?” Dirjo masuk dan duduk di sebuah ruang yang dianggap sebagai
ruang tamu. Kekhawatiran muncul di raut wajah Marni. Ia tahu tujuan Dirjo
datang kemari adalah untuk menagih utang yang ia janjikan hari ini.
“Karman
mana Marni?”
“Kerja,
Kang” jawab Marni, berjalan menuju dapur untuk membuatkannya kopi. Marni
mencoba bersikap sewajar mungkin untuk menutupi kekhawatirannya.
“Sudah
ada uangnya, Mar?”
“Belum
Kang” jawabnya singkat.
“Kau
bilang hari ini bisa melunasinya” tagih Dirjo dengan santai.
“Kang
Karman belum dapat uangnya Kang” Marni berharap
Dirjo memahami keadaaannya.
“Kau
yakin, bahwa suamimu Karman itu benar-benar kerja mencari uang?”
“Iya
Kang. Mungkin gosip warga sudah sampai ke telinga Kang Dirjo. Tapi, aku
mempercayainya.”
“Mengapa
tidak kau buktikan saja sendiri?” Dirjo meneguk sedikit kopi panas
dihadapannya.
“Aku
mempercayainya, Kang.”
“Andai
saja dulu kau mau menikah denganku, maka hidupmu tidak seperti ini, Marni.
Hidup susah dengan seorang peselingkuh. Wanita secantik kau selayaknya hidup
mewah denganku.”
“Aku
mohon Kang, jangan kau hina suamiku!” giginya beradu, tangannya mengepal
mencoba bersabar menghadapi seorang yang telah menghina suaminya.
“Kau
marah Marni? Kau marah hanya demi seorang peselingkuh? Ada-ada saja Kau ini.
Belum terlambat Marni, menikahlah denganku maka utang kalian kuanggap lunas!”
Ancamnya dengan halus.
“Tidak”
jawabnya pendek.
“Baiklah,
kau pikir-pikir lagi tawaranku itu. Aku akan kembali minggu depan.” Marni
melihat tatapan yang menjijikan dan senyum hinaan dari wajah yang ia benci.
Dirjo menghabiskan secangkir kopi yang disuguhkan Marni. Ia hanya bisa melihat
kopi hitam buatannya mengalir masuk ke dalam kerongkongan Dirjo, kemudian
menerabas di setiap bagian tubuh Dirjo.
***
Marni mengantuk dan Karman belum juga pulang. Pintu
sudah akan ditutup. Lampu bolam 25 whatt terlihat sangat temaram malam itu.
Jangkring pun meramaikan sunyinya pekat malam. Kampung Durian jam sembilan
sudah terlihat sepi dan senyap. Tak banyak yang dilakukan warganya hingga pukul
sekian. Marni mencoba mengintip dari balik jendela yang tertutup gorden lusuh,
di luar benar-benar gelap. Lampu jalan yang warga pasang pun sepertinya tak
berguna karena hanya satu dua yang menyala, lainnya mati dan tak kunjung
diganti. Beberapa lagi dicuri oleh orang tak bertanggung jawab. Ia tak
mempedulikan sekelilingnya yang gelap. Segalanya fokus pada Karman, suaminya
yang tak kunjung pulang hingga pukul sekian. Apalagi tentang gosip tadi siang
yang sudah menyebar ke seluruh warga.
“Dari mana saja Kang?” tanya Marni
dengan lembut sembari menyediakan secangkir kopi dan ketela goreng di hadapan
Karman.
“Kau
curiga padaku? Jangan kau percaya omongan orang-orang desa. Mereka senang kalau
melihat kita bertengkar dan sengsara.”
“Tidak
Kang, hanya saja tadi sore Dirjo datang menagih hutang.”
“Lau
kau bilang apa padanya?”
“Aku
bilang, kita akan segera membayarnya.”
“Dasar
Dirjo, tidak tau berterima kasih. Dulu banyak preman-preman terminal sepulang
sekolah yang memalaki dia karena tahu Dirjo anak dari Lurah yang bangkoknya
subur. Dan ketika itu, preman-preman itu kubantai sampai habis. Jelas sekali, dia
berhutang juga padaku. Bahkan lebih dari sekedar uang.”
“Itu
masa lalu Kang! Tidak baik jika diungkit-ungkit terus” jelas Marni hati-hati.
“Biarkan
saja! Memang seharusnya begitu. Dia berhutang nyawa padaku. Coba saja ketika
itu aku tidak membantai preman-preman itu mungkin dia sudah mampus. Sekarang
giliranku hutang 15 juta saja, dia
seringkali menagihnya!”
“15
juta itu tidak sedikit Kang. Itu uang banyak. Dengan uang itu juga kita mampu
beli motor buat Tole, sampai akhirnya dia mau sekolah.”
“Ahhh
aku tidak terima semua itu!!! Lihat saja besok! akan aku lunasi utang kita,
tanpa menunggu sepekan!!” kata Karman dengan nada penuh amarah.
Suasana menjadi lengang, Marni tak
melanjutkan percakapannya. Dia tidak ingin terjadi cekcok dengan suaminya. Malam
semakin larut. Udara malam berhembus lembut di luar. Tidak ada percakapan lebih
lanjut malam itu.
***
Pagi—pagi sehabis subuh ia sudah
menyiapkan segala keperluan suaminya untuk berangkat kerja di sebuah toko
kelontong. Kepulan nasi hangat dengan sambal gereh telah dilahap suaminya.
Marni mencium punggung tangan Karman sebagai bukti bakti pada suaminya. Kicauan
burung pagi itu mengantarkan Karman ke arah Timur, jalan raya.
Bergegas Marni berlari ke luar rumah.
Kicauan burung semakin ramai saja di pagi yang sibuk. Punggung suaminya masih
tak begitu jauh dari pandangannya. Namun, cukup baginya untuk melihat ke arah
mana Kang Karman pergi. Kediaman seorang janda Dirjo, Jum.
“Aku
baru bisa menggajimu bulan depan” katanya.
“Apa
tidak bisa kau pinjami dulu? Aku ingin segera melunasi utangku pada si brengsek
Dirjo” tawar Karman berharap mendapat pinjaman dari Jum, seorang janda kaya
yang juga seorang bos di tempat ia bekerja.
“Kau
menyayanginya, Kang?”
“Ya,
aku ingin hidup tenang dengannya” jawabnya santai namun yakin.
“Berapa
kau mau? Ini semua bukan untuk Marni tapi demi kau, Kang” Kata Jum dengan tatapan seorang wanita yang cintanya tak
terbalas.
***
Malam kembali hadir. Karman merebahkan
tubuhnya di kasur yang tidak lagi empuk. Malam hening seperti biasa mewarnai
kampung. Lampu jalan kembali tak berguna untuk menerangi jalan. Nyanyian
jangkrik beradu malam itu. Melihat suaminya kelelahan, diambilnya pisau yang
biasa ia gunakan untuk memasak makanan dengan penuh cinta kasih dan bakti,
ditusukannya pisau itu tepat di perut Karman. Tak dipedulikannya wajah suaminya
tercinta meronta dalam sakaratul maut. Ditusukannya berulang-ulang membabi
buta. Semua gelap. Tidak ada lagi kepercayaan. Tidak ada lagi bukti bakti.
Wajah panas penuh darah menguasainya. Pisau cemburu telah menancap berkali-kali
ditubuh tak berdaya. Tubuh berlumur darah dengan segepok uang 15 juta dalam
genggamannya. (IraIsha)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar