Rabu, 23 Oktober 2013

Pengemis Kota

PENGEMIS KOTA
(Ira Ismatul Hamidah)

Berada di sudut kota
Debu bercinta dengan asap
Tubuh kecil bertabur luka
Kau genggam lingkar logam

Hujan mengguyur kota
Tak jua kau hiraukan
Bersama mereka
Kawan kecil bertabur luka

Kau nyanyikan lagu gembira

Peran Sastra dalam Dunia Pendidikan

Peran Sastra dalam Dunia Pendidikan


Pengertian Sastra                  
Zaman modern saat ini, siapa yang tak mengenal sastra. Khususnya kalangan siswa yang sudah seharusnya mengenal, memahami, dan mampu mengambil manfaat dari sebuah sastra.
Sastra menurut Sapardi, (1979: 1), “Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.” Dari pengertian tersebut, sastra dapat dikatakan sebuah gambaran kehidupan nyata. Berdasarkan teori objektif, sastra didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu, berdasarkan teori pragmatik, karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca (Abrams melalui Wiyatmi, 2006). Berdasarkan dua pengertian sastra di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah gambaran kehidupan nyata yang ditulis oleh pengarang yang bertujuan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada pembaca.
Sastra merupakan karangan fiksi. Menurut Nurgiyantoro (2007: 3), walaupun berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Jenis karya sastra yang kini dikenal oleh masyarakat yaitu puisi, drama, dan karangan naratif (meliputi novel, novelet, ataupun cerita pendek).




Dunia Pendidikan
Pendidikan menjadi salah satu bentuk cerminan keberhasilan sebuah bangsa. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila dari segi pendidikannya mereka telah mampu menciptakan manusia-manusia yang mampu berpikir maju. Untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan, sastra mampu berperan positif.
Dunia pendidikan di Indonesia tidak selalu buruk, lihat saja dua siswa SMAN 10 Malang, Jawa  Timur, Nando Novia dan Nurul Inayah, yang pernah tayang di Kick Andy, berhasil membuktikan jika kencing manusia bisa menjadi energi penggerak mobil. Penemuan ini membuat mereka meraih medali emas di ajang kompetisi International Young Inventors Project Olympiad (IYIPO) ke-6 di Georgia, tahun 2012.
Namun, sangat miris jika kita tahu dunia pendidikan saat ini, dilihat dari keadaan siswa. Bayangkan saja siswa putra dan putri yang sudah tidak malu lagi untuk berboncengan motor sambil berpelukan di jalan. Lebih dari itu, terkadang ada siswa putri yang pergi bermain dengan pasangannya berhari-hari tanpa pulang. Seringkali masalah ini terjadi, dan pastilah orang tua cemas. Kemudian, tawuran yang sempat heboh di akhir tahun 2012. Keadaan seperti inilah yang perlu segera dibenahi.

Peran Sastra
Sastra, ilmu yang dikemas dengan menarik. Ilmu yang dikemas dengan menarik ini diharapkan mampu menarik perhatian siswa. Dalam hal ini, terutama guru, harus mampu mengenalkan sastra kepada siswa. Meskipun budaya baca masih rendah, tidak ada salahnya ketika sastra hadir untuk meningkatkan budaya baca dikalangan siswa.
Selain apresiasi pembaca, penulis perlu menciptakan karya sastra yang sarat makna serta mudah dipahami dan dimengerti. Tidak jarang sastra menjadi alat bagi pengarang untuk menyelusupkan ideologi, menawarkan misi budaya, memprovokasi untuk melakukan pemihakan, atau meledek hal atau pihak tertentu secara tersembunyi. Itulah sebabnya, dari karya sastra, pembaca kerap menemukan berbagai hal yang baik atau buruk; yang tersirat atau tersurat; ledekan atau pengagungan (Mahayana, 2006: 177). Dari pernyataan Mahayana tersebut, sebuah sastra tentulah memiliki pengaruh besar disegala aspek kehidupan. Sastra dapat membukakan mata pembaca khususnya siswa untuk mengetahui realitas sosial, politik dan budaya dalam bingkai moral dan estetika, sebab dalam sastra tersimpan pesan atau amanat dari penulis.
Pesan yang ingin disampaikan oleh seorang penulis sastra, patut untuk dipahami dan dimengerti. Mengingat zaman sekarang, nilai religius, sopan santun, keramahan, gotong royong, semakin terkikis, juga moralitas dikalangan siswa. Horatius, penyair terbaik bahasa Latin, mengatakan bahwa manfaat sastra sebagai berikut.
a.   Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
b.   Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya.
c.   Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat  yang digambarkan dalam karya.
d.   Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
e.   Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu.
f.    Masih banyak manfaat sastra yang bagi satu pembaca berbeda dengan pembaca lainnya. Sehingga beberapa pembaca yang menikmati buku yang sama bisa jadi memperoleh pengalaman yang berbeda.


Munculnya novel-novel sastra dari para sastrawan angkatan 2000 perlu kita acungi jempol. Novel-novel tersebut menyimpan sebuah amanat yang patut dicontoh, misalnya Tetralogi Laskar Pelangi karya Andera Hirata, Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, kedua novel tersebut mengisahkan kegigihan seorang anak dalam meraih kesuksesan, novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro yang menceritakan sebuah persahabatan, bahkan ketiga novel tersebut telah ditayangkan di bioskop-bioskop. Keberhasilan lain misalnya novel Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburahman El Shirazy, yang memiliki nilai religi. Munculnya novel-novel berkualitas dari penulis-penulis yang berkualitas diharapkan mampu melahirkan pemuda berkualitas. (Ira Ismatul Hamidah)

Resensi Novel Bekisar Merah

IDENTITAS BUKU



JUDUL RESENSI            : WUJUD NYATA MANUSIA DALAM NOVEL BEKISAR  MERAH
JUDUL BUKU                 : Bekisar Merah
PENGARANG                 : Ahmad Tohari
PENERBIT                       : PT. GRAMEDIA PUSTAKA
KOTA TERBIT                : Jakarta
TAHUN TERBIT             : 2013
JUMLAH HALAMAN    : 360
UKURAN KERTAS        : 21 cm
JENIS/ KATEGORI         : Fiksi



SINOPSIS

Lasi adalah wanita dari Karangsoga yang mempunyai suami bernama Darsa. Ia pergi ke Jakarta karena tahu Darsa telah menghianati Lasi. Di sana ia tinggal di sebuah rumah makan milik Bu Koneng. Lasi tidak tahu bahwa ia akan diserahkan pada Bu Lanting untuk dijual kepada pelobi besar bernama Handarbeni. Di sana, Lasi dipaksa untuk menikah dengan Handarbeni. Bagaimanapun menjadi istri Handarbeni bukanlah hal yang diinginkannya.
Suatu hari Handarbeni menerima telepon dari Pak Bambung, pelobi tingkat tinggi ibu kota. Ia meminjam Lasi barang sebentar. Persetujuan pun terjadi. Tanpa mengetahui itu semua, Lasi diajak berlibur oleh Bu Lanting. Ia tidak tahu menahu bahwa kepergiannya ke Singapura adalah untuk menemani Pak Bambung makan malam. Setelah makan malam selesai, mereka pergi ke kamar dan mengobrol.
Lasi kembali dipaksa menikah dengan Pak Bambung oleh Bu Lanting. Seketika itu dia menolak dan memutuskan untuk pulang ke Karangsoga. Di sana Ia bertemu dengan Kanjat, seorang pemuda dua tahun lebih muda, namun pintar dan baik hati, di mata Lasi. Ia meminta Kanjat untuk mengantarnya ke rumah pamannya di Sulawesi, untuk menenangkan diri di sana. Atas saran Eyang Mus, seseorang yang dituakan di kampung Karangsoga, sebelum berangkat ke Sulawesi, Lasi dan Kanjat harus menikah karena tidak pantas laki- laki dan perempuan pergi berdua apalagi untuk waktu lama. Mereka pun setuju karena mereka memang saling menyukai. Lalu Lasi dan Kanjat pun akhirnya menikah siri. Dalam perjalanan menuju rumah pamannya, tiba-tiba Lasi dijemput secara paksa oleh Bu Lanting dan polisi dari Jakarta agar kembali tinggal bersama Pak Bambung. Akhirnya, Lasi kembali tinggal bersama bersama Pak Bambung.
Lasi merasakan bahwa ia hamil anak Kanjat, segera ia memberitahukan kehamilannya pada Kanjat. Selama lima bulan Kanjat menunggu Lasi dengan amat tersiksa. Kabar beredar bahwa Pak Bambung sudah ditahan dan para istrinya pun ikut diperiksa. Kanjat sangat khawatir dengan keberadaan Lasi. Kanjat ditemani Pardi menuju Jakarta untuk menyusul Lasi. Sesampainya di rumah Lasi, Lasi tidak ditemukan. Ternyata Lasi sedang diperiksa di kantor polisi. Mereka segera menuju kantor polisi untuk bertemu Lasi. Dengan bantuan seorang pengacara, teman Kanjat, akhirnya Lasi bebas. Akhirnya, mereka pulang ke Karangsoga dengan perasaan lega dan bahagia.


WUJUD NYATA MANUSIA
DALAM NOVEL BEKISAR  MERAH

Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari merupakan salah satu novel yang memiliki daya tarik tersendiri terutama bagi pencinta sastra di Indonesia. Novel ini bercerita tentang sebuah kehidupan wanita Jawa dengan lika-liku hidupnya. Lasi, seorang wanita keturunan blasteran Jawa-Jepang ini dikisahkan sebagai perempuan paling cantik diantara sebayanya. Berikut beberapa keunggulan dari novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.
Ahmad Tohari mampu menggambarkan dengan baik tradisi kultur Jawa, melalui masyarakat yang polos, lugu, dan memegang teguh nilai luhur budaya Jawa. Lasi dan Kanjat yang akan pergi ke Sulawesi tidak bisa hanya pergi berdua, karena ada batas kepantasan yang masih berlaku di Karangsoga. Laki laki dan perempuan  tidak pantas hanya pergi berdua, apalagi untuk waktu yang cukup lama. Maka Lasi dan Kanjat disarankan untuk menikah siri demi menjaga martabat dan kehormatan mereka. Berikut beberapa kutipan yang menggambarkan kultur masyarakat Jawa yang memegang teguh budaya Jawa.

Yang kukehendaki justru kalian berdua bisa berangkat namun tetap dalam batas kepantasan. Nah, agar pantas pergi berdua, kamu dan Lasi sebaiknya menikah dulu.... (Hal. 307)

Yang kumaksud, Kanjat dan Lasi menikah secara syariat atau secara siri, atau apalah namanya sebelum keduanya berangkat. Ini penting demi menjaga martabat dan kehormatan mereka, juga kita semua.... (Hal. 307)

Penciptaan konflik diantara tokoh juga sangat rapi. Lasi yang tahu suaminya Darsa telah menghianatinya lalu pergi ke Jakarta. Di sana ia terjebak perdagangan perempuan yang sama sekali tidak diketahuinya. Konflik kehidupan Lasi dengan Handarbeni, dilanjutkan konflik kehidupan Lasi dengan Pak Bambung diceritakan secara urut. Oleh sebab itu, pembaca lebih mudah memahami konflik yang terjadi.
Selanjutnya, cerita terasa begitu nyata, sehingga mampu membuat pembaca terhanyut dalam cerita. Latar tempat, suasana, maupun sosial digambarkan sangat rinci sehingga pembaca seolah-olah berada di Karangsoga dengan kultur Jawanya yang kental.  
Selalu ada panutan dan pesan moral di setiap persitiwa yang terjadi. Pesan moral yang tercipta diantaranya adanya sikap menolong pada tokoh Kanjat terhadap Lasi ketika akan pergi ke Sulawesi, Pardi yang dengan rela menemani Kanjat pergi ke Jakarta untuk menemui Lasi.

Ya, Paman Ngalwi yang kini tinggal di daerah transmigrasi Sulawesi Tengah. Aku ingin menyingkir dan bersembunyi di sana. mungkin untuk satu atau dua bulan. Atau entahlah, yang penting saat ini aku ingin menyingkir. Kamu masih seperti dulu, suka menolongku, bukan? (Hal.303)

Baik, aku mau mengantar kamu ke Sulawesi. Tetapi aku tidak bisa pergi seenaknya karena aku pegawai. Artinya, aku harus mengatur waktu.... (Hal.303)

Keunggulan selanjutnya yang dapat dipaparkan, Ahmad Tohari bertutur sangat baik tentang sistem kepercayaan Jawa dalam masyarakat, seperti pada saat Lasi mendengar suara puji-pujian dari surau Eyang Mus yang membuatnya merasa dimengerti, dipahami, dan diterima kembali oleh tanah kelahirannya. Juga para penyadap yang tetap berpuasa, meskipun mereka harus naik turun belasan pohon kelapa setiap hari.  

Yun ayun, ayun badan. Wong ayun susahing ati.
Badan siji digawa mati. wong neng  dunya sugih dosa.
Neng akherat dipun siksa. Gusti Allah, nyuwun ngapura.
Gendhung-gendhung pengeling eling.
Padha elinga mumpung urip neng dunya.
Padha ngajia lawang tobat esih menga.
Gawe dalan maring suwarga.
Aja babad kudhi jungkir.
Babadana klawan puji lan dikir. (Hal. 291)

Selain beberapa keunggulan di atas, novel Bekisar Merah juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu dikaji. Beberapa diantaranya, novel Bekisar Merah terlalu banyak menggunakan Bahasa Daerah, Bahasa Jawa, sehingga pembaca sulit untuk memahami isi cerita. Apalagi jika pembacanya adalah masyarakat di luar Jawa, mereka akan sulit memahami bahasa tersebut.

.... Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane....(Hal. 31)

.... Mangkat slamet, bali slamet, bisik Lasi. Amit-amit jangan seperti dulu, mangkat slamet, kembali sudah terkulai dalam gendongan Mukri. (Hal. 51)

Bahasa yang digunakan Ahmad Tohari juga terkesan vulgar. Ahmad Tohari seharusnya mampu menggunakan bahasa-bahasa kias tanpa mengurangi nilai estetika untuk menggambarkan sesuatu yang dirasa vulgar, seperti ketika Bunek si dukun berkomentar terhadap penyakit Darsa.

“Atau tentang pucuk Darsa yang lemah itu juga tidak apa-apa. Seperti ular tidur, nanti akan menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat.” (Hal. 48)

Kemudian, Alur digambarkan kurang menarik sebab cerita mulai berjalan terlalu cepat dan tidak seimbang ketika memasuki bagian akhir. Ahmad Tohari terkesan terburu-buru menyelesaikan kisah Lasi dengan Kanjat.
Penggambaran kehidupan Lasi dengan Kanjat tidak terbangun dengan baik oleh Ahmad Tohari. Tokoh Kanjat dalam novel tersebut hanya sebagai penolong Lasi dalam menghadapi konflik dengan tokoh lain. Sosok Kanjat menjadi tidak bermakna utuh dan lebih nampak sebagai sekedar tempelan semata.
Sementara itu, jika dilihat dari segi layout sampul, kurang sesuai dengan judul novel dan kurang menarik. Novel yang berjudul Bekisar Merah hanya digambarkan sebuah kandang ayam dan bulu yang berwarna merah. Pemaknaan terhadap gambar tersebut menjadi kurang mengena pada pembaca. Padahal, Bekisar Merah memiliki makna ayam hasil persilangan ayam hutan dengan ayam kampung yang menghasilkan ayam yang indah, biasa digunakan sebagai pajangan. Sama halnya tokoh Lasi, seorang wanita blesteran Jawa-Jepang yang memiliki paras cantik dan semua orang menginginkannya.
Dari beberapa keunggulan dan kekurangan yang telah dipaparkan di atas, novel Bekisar baik untuk dipelajari bagi masyarakat saat ini, seperti tentang tidak baik jika seorang laki-laki dan perempuan bepergian jauh dalam waktu yang lama. Hal tersebut baik untuk ditiru atau diterapkan dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Novel ini juga baik dibaca bagi pelajar yang ingin mempelajari budaya Jawa karena novel Bekisar Merah sarat akan kultur Jawa yang kental. Juga kepercayaan Jawanya yang digambarkan dengan rapi.  

Cerpen Putu Wijaya

PERADILAN RAKYAT
Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Selasa, 15 Oktober 2013

Buah Bibir

BUAH BIBIR



Siang begitu terik. Bau gabah yang baru saja dipanen tercium hingga ke dalam rumah Marni. Segera ia keluar dari rumahnya melihat hamparan luas sawah kering di seberang jalan. Ibu-ibu di kampung hampir semuanya berkumpul di sana untuk memanen. Baginya yang tidak mempunyai sawah hanya menjadi buruh saja. Tak lama, Marni sudah membaur dengan ibu-ibu di sawah.
“Hai Marni, jadi kau tidak peduli apa yang dilakukan Karman padamu?” pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan seorang ibu setengah baya dengan caping yang sedikit menutupi wajahnya.
“Tidak, Sit. Dia sangat menyayangiku jadi hal seperti itu tidak mungkin ia lakukan” jawab Marni dengan tenang.
“Tapi, katanya ada orang yang lihat suamimu itu dengan Jum, janda Dirjo, itu di rumahnya” timpal yang lain.
“Itu kan katanya, barangkali orang yang mengira waktu itu salah lihat” jawab Marni.
“Kau terlalu polos Marni. Semoga saja dugaanmu itu benar, dan kami yang salah.” Kali ini Marni terdiam dan hanya menjawab dengan senyuman. Seperti itulah caranya untuk menghentikan omongan ibu-ibu yang suka menggosip.

***

Terdengar pintu rumah diketuk, sore itu. Ia beranjak dari sandaran duduknya. Dilihatnya lelaki bertubuh kurus dan berkulit hitam di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar.
“Kang Dirjo?!” lihatnya dengan terkejut.
“Sedang apa kamu Mar?” Dirjo masuk dan duduk di sebuah ruang yang dianggap sebagai ruang tamu. Kekhawatiran muncul di raut wajah Marni. Ia tahu tujuan Dirjo datang kemari adalah untuk menagih utang yang ia janjikan hari ini.
“Karman mana Marni?”
“Kerja, Kang” jawab Marni, berjalan menuju dapur untuk membuatkannya kopi. Marni mencoba bersikap sewajar mungkin untuk menutupi kekhawatirannya.
“Sudah ada uangnya, Mar?”
“Belum Kang” jawabnya singkat.
“Kau bilang hari ini bisa melunasinya” tagih Dirjo dengan santai.
“Kang Karman belum dapat uangnya Kang” Marni berharap  Dirjo memahami keadaaannya.
“Kau yakin, bahwa suamimu Karman itu benar-benar kerja mencari uang?”
“Iya Kang. Mungkin gosip warga sudah sampai ke telinga Kang Dirjo. Tapi, aku mempercayainya.”
“Mengapa tidak kau buktikan saja sendiri?” Dirjo meneguk sedikit kopi panas dihadapannya.
“Aku mempercayainya, Kang.”
“Andai saja dulu kau mau menikah denganku, maka hidupmu tidak seperti ini, Marni. Hidup susah dengan seorang peselingkuh. Wanita secantik kau selayaknya hidup mewah denganku.”
“Aku mohon Kang, jangan kau hina suamiku!” giginya beradu, tangannya mengepal mencoba bersabar menghadapi seorang yang telah menghina suaminya.
“Kau marah Marni? Kau marah hanya demi seorang peselingkuh? Ada-ada saja Kau ini. Belum terlambat Marni, menikahlah denganku maka utang kalian kuanggap lunas!” Ancamnya dengan halus.
“Tidak” jawabnya pendek.
“Baiklah, kau pikir-pikir lagi tawaranku itu. Aku akan kembali minggu depan.” Marni melihat tatapan yang menjijikan dan senyum hinaan dari wajah yang ia benci. Dirjo menghabiskan secangkir kopi yang disuguhkan Marni. Ia hanya bisa melihat kopi hitam buatannya mengalir masuk ke dalam kerongkongan Dirjo, kemudian menerabas di setiap bagian tubuh Dirjo.

***

Marni  mengantuk dan Karman belum juga pulang. Pintu sudah akan ditutup. Lampu bolam 25 whatt terlihat sangat temaram malam itu. Jangkring pun meramaikan sunyinya pekat malam. Kampung Durian jam sembilan sudah terlihat sepi dan senyap. Tak banyak yang dilakukan warganya hingga pukul sekian. Marni mencoba mengintip dari balik jendela yang tertutup gorden lusuh, di luar benar-benar gelap. Lampu jalan yang warga pasang pun sepertinya tak berguna karena hanya satu dua yang menyala, lainnya mati dan tak kunjung diganti. Beberapa lagi dicuri oleh orang tak bertanggung jawab. Ia tak mempedulikan sekelilingnya yang gelap. Segalanya fokus pada Karman, suaminya yang tak kunjung pulang hingga pukul sekian. Apalagi tentang gosip tadi siang yang sudah menyebar ke seluruh warga.
“Dari mana saja Kang?” tanya Marni dengan lembut sembari menyediakan secangkir kopi dan ketela goreng di hadapan Karman.
“Kau curiga padaku? Jangan kau percaya omongan orang-orang desa. Mereka senang kalau melihat kita bertengkar dan sengsara.”
“Tidak Kang, hanya saja tadi sore Dirjo datang menagih hutang.”
“Lau kau bilang apa padanya?”
“Aku bilang, kita akan segera membayarnya.”
“Dasar Dirjo, tidak tau berterima kasih. Dulu banyak preman-preman terminal sepulang sekolah yang memalaki dia karena tahu Dirjo anak dari Lurah yang bangkoknya subur. Dan ketika itu, preman-preman itu kubantai sampai habis. Jelas sekali, dia berhutang juga padaku. Bahkan lebih dari sekedar uang.”
“Itu masa lalu Kang! Tidak baik jika diungkit-ungkit terus” jelas Marni hati-hati.
“Biarkan saja! Memang seharusnya begitu. Dia berhutang nyawa padaku. Coba saja ketika itu aku tidak membantai preman-preman itu mungkin dia sudah mampus. Sekarang giliranku hutang  15 juta saja, dia seringkali menagihnya!”
“15 juta itu tidak sedikit Kang. Itu uang banyak. Dengan uang itu juga kita mampu beli motor buat Tole, sampai akhirnya dia mau sekolah.”
“Ahhh aku tidak terima semua itu!!! Lihat saja besok! akan aku lunasi utang kita, tanpa menunggu sepekan!!” kata Karman dengan nada penuh amarah.
Suasana menjadi lengang, Marni tak melanjutkan percakapannya. Dia tidak ingin terjadi cekcok dengan suaminya. Malam semakin larut. Udara malam berhembus lembut di luar. Tidak ada percakapan lebih lanjut malam itu.

***

Pagi—pagi sehabis subuh ia sudah menyiapkan segala keperluan suaminya untuk berangkat kerja di sebuah toko kelontong. Kepulan nasi hangat dengan sambal gereh telah dilahap suaminya. Marni mencium punggung tangan Karman sebagai bukti bakti pada suaminya. Kicauan burung pagi itu mengantarkan Karman ke arah Timur, jalan raya.
Bergegas Marni berlari ke luar rumah. Kicauan burung semakin ramai saja di pagi yang sibuk. Punggung suaminya masih tak begitu jauh dari pandangannya. Namun, cukup baginya untuk melihat ke arah mana Kang Karman pergi. Kediaman seorang janda Dirjo, Jum.
“Aku baru bisa menggajimu bulan depan” katanya.
“Apa tidak bisa kau pinjami dulu? Aku ingin segera melunasi utangku pada si brengsek Dirjo” tawar Karman berharap mendapat pinjaman dari Jum, seorang janda kaya yang juga seorang bos di tempat ia bekerja.
“Kau menyayanginya, Kang?”
“Ya, aku ingin hidup tenang dengannya” jawabnya santai namun yakin.
“Berapa kau mau? Ini semua bukan untuk Marni tapi demi kau, Kang” Kata Jum dengan  tatapan seorang wanita yang cintanya tak terbalas.

***

Malam kembali hadir. Karman merebahkan tubuhnya di kasur yang tidak lagi empuk. Malam hening seperti biasa mewarnai kampung. Lampu jalan kembali tak berguna untuk menerangi jalan. Nyanyian jangkrik beradu malam itu. Melihat suaminya kelelahan, diambilnya pisau yang biasa ia gunakan untuk memasak makanan dengan penuh cinta kasih dan bakti, ditusukannya pisau itu tepat di perut Karman. Tak dipedulikannya wajah suaminya tercinta meronta dalam sakaratul maut. Ditusukannya berulang-ulang membabi buta. Semua gelap. Tidak ada lagi kepercayaan. Tidak ada lagi bukti bakti. Wajah panas penuh darah menguasainya. Pisau cemburu telah menancap berkali-kali ditubuh tak berdaya. Tubuh berlumur darah dengan segepok uang 15 juta dalam genggamannya. (IraIsha)

***